Intuisi.net – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, memanfaatkan hak prerogatifnya untuk memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, dan abolisi kepada Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan, dalam sebuah langkah strategis menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025. Keputusan ini, yang diumumkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI, Supratman Andi Agtas, pada konferensi pers di Kantor Kemenkumham, Jakarta Selatan, Kamis malam (1/8/2025), mencerminkan visi besar Presiden untuk mempersatukan bangsa di tengah dinamika politik yang kompleks.
Hak Prerogatif Presiden: Landasan Hukum dan Makna Strategis
Dalam keterangannya, Supratman menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi merupakan bagian dari hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954. “Grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi adalah hak istimewa seorang presiden, siapa pun presidennya,” ujar Supratman. Hak ini memberikan Presiden wewenang untuk membuat keputusan luar biasa demi kepentingan nasional, melampaui kerangka hukum formal yang biasanya mengikat proses peradilan.
Keputusan ini bukan sekadar tindakan hukum, melainkan cerminan dari penilaian Presiden terhadap situasi kebangsaan. Menurut Supratman, Presiden Prabowo memandang bahwa menyatukan kekuatan politik di Indonesia adalah langkah krusial untuk memperkuat fondasi negara menjelang peringatan kemerdekaan yang bersejarah. “Presiden memiliki pertimbangan bagaimana seluruh kekuatan politik dapat bersama-sama membangun Republik ini. Dibutuhkan kebesaran hati dan kebersamaan untuk mewujudkan itu,” jelasnya.
Amnesti untuk Hasto dan Abolisi untuk Lembong: Pertimbangan di Balik Keputusan
Pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Lembong menjadi sorotan utama karena status keduanya sebagai tokoh politik yang memiliki pengaruh signifikan. Hasto, yang dikenal sebagai salah satu pilar PDI Perjuangan, mendapatkan amnesti meskipun status hukumnya belum berkekuatan tetap (inkrah). Menanggapi kritik terkait hal ini, Supratman menegaskan bahwa tidak ada syarat inkrah dalam pemberian amnesti.
“Tidak ada aturan yang menyatakan putusan harus inkrah untuk menghentikan proses penuntutan atau memberikan pengampunan,” tegasnya.
Sementara itu, Thomas Lembong menjadi satu-satunya penerima abolisi dalam keputusan ini. Abolisi, yang berbeda dari amnesti karena menghentikan proses hukum sebelum putusan pengadilan, diberikan kepada Lembong sebagai bentuk pengakuan atas kontribusinya bagi negara di masa lalu. Kedua tokoh ini dianggap memiliki peran penting dalam dinamika politik nasional, dan pengampunan mereka dipandang sebagai langkah untuk meredam ketegangan politik serta membuka ruang dialog antar kelompok.
Secara keseluruhan, Presiden Prabowo mengabulkan 1.178 permohonan amnesti, yang mencakup narapidana dengan disabilitas, lanjut usia, penderita gangguan jiwa, serta kasus makar tanpa senjata di Papua. Keputusan ini menunjukkan pendekatan inklusif yang tidak hanya berfokus pada tokoh politik terkemuka, tetapi juga pada kelompok rentan yang membutuhkan perhatian khusus.
Konteks Kebangsaan: Rekonsiliasi Menuju HUT ke-80 RI
Pemberian amnesti dan abolisi ini tidak lepas dari konteks peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, yang menjadi momen simbolis untuk merefleksikan perjalanan bangsa. Supratman menegaskan bahwa Presiden Prabowo ingin memanfaatkan momen ini untuk merajut kembali persatuan nasional yang sempat terbelah akibat polarisasi politik. “Dari awal, Bapak Presiden selalu berpikir tentang keutuhan NKRI. Beliau menekankan bahwa kita harus bersatu padu untuk membangun bangsa ini,” ujar Supratman.
Langkah ini juga dilihat sebagai upaya untuk menciptakan suasana kondusif menjelang perayaan kemerdekaan, di mana Indonesia diharapkan dapat menunjukkan wajah persatuan di mata dunia. Dengan membebaskan tokoh-tokoh seperti Hasto dan Lembong, Presiden Prabowo mengirimkan pesan kuat bahwa perbedaan politik tidak boleh menghalangi semangat kebersamaan dalam membangun masa depan bangsa.
Keputusan Presiden (Keppres) terkait amnesti dan abolisi ini resmi berlaku sejak 1 Agustus 2025. Supratman mengungkapkan bahwa daftar lengkap penerima pengampunan akan diumumkan pada malam yang sama, memastikan transparansi dalam proses ini. Untuk pelaksanaan pembebasan, kewenangan diserahkan kepada lembaga eksekutor terkait, seperti Kejaksaan Agung atau lembaga penegak hukum lainnya. “Kepresnya berlaku per 1 Agustus. Untuk teknis pelaksanaannya, silakan tanyakan kepada lembaga yang berwenang,” kata Supratman.
Dampak dari keputusan ini diperkirakan akan signifikan, baik dari sisi politik maupun sosial. Di ranah politik, langkah ini dapat membuka ruang untuk dialog antar kelompok yang selama ini berseteru, sekaligus memperkuat legitimasi Presiden Prabowo sebagai pemimpin yang inklusif. Dari sisi sosial, pengampunan terhadap narapidana rentan seperti lansia dan penyandang disabilitas menunjukkan perhatian pemerintah terhadap isu kemanusiaan.
Keputusan ini telah memicu berbagai tanggapan dari masyarakat dan pengamat politik. Sebagian menyambut baik langkah Presiden sebagai wujud kebesaran hati, sementara yang lain mempertanyakan implikasi hukum dari pemberian amnesti tanpa status inkrah. Namun, Supratman menegaskan bahwa keputusan ini telah melalui proses konsultasi dengan DPR pada 31 Juli 2025, sehingga memiliki legitimasi yang kuat.
Ke depan, pemerintah berharap langkah ini dapat menjadi titik balik bagi rekonsiliasi nasional. Dengan mendekati HUT ke-80 Kemerdekaan RI, Indonesia memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa persatuan adalah kekuatan utama bangsa. Seperti yang ditegaskan Supratman, “Presiden ingin memastikan bahwa kita semua, tanpa terkecuali, dapat bersama-sama membangun Indonesia yang lebih kuat dan harmonis.”