Batam, intuisi.net– Proyek Rempang Eco-City, salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pulau Rempang, Batam, terus menjadi sorotan akibat penggusuran warga di Tanjung Banon untuk pembangunan kawasan industri, jasa, dan pariwisata senilai Rp381 triliun hingga 2080. Proyek ini, yang melibatkan investor utama Xinyi Group (China) dengan investasi awal Rp175 triliun, diperkirakan menyerap 306 ribu tenaga kerja, namun memicu konflik sosial karena mengancam 7.500 jiwa dari 16 kampung adat Melayu.Perkembangan Relokasi dan Penggusuran
Pada 8 Juli 2025, penggusuran paksa rumah dan kebun warga di Tanjung Banon memicu protes keras. Ratusan aparat gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP dikerahkan untuk menertibkan lahan yang diklaim berada di bawah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) BP Batam. Rumah milik Rusmawati diratakan alat berat, dan barang-barangnya dikeluarkan tanpa pemberitahuan resmi, hanya melalui informasi lisan dari RT/RW. Kebun kelapa milik Airlangga Sinaga (8.737 m²) juga dieksekusi, meskipun status hukum lahannya masih dalam sengketa.
Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mengecam tindakan ini sebagai pelanggaran status “a quo” dan menuntut penghentian penggusuran serta intimidasi.Sejak 2023, warga menolak relokasi awal ke Pulau Galang karena khawatir kehilangan mata pencaharian sebagai nelayan. Setelah bentrokan pada 7 September 2023, yang melibatkan gas air mata dan menyebabkan trauma, pemerintah mengalihkan lokasi relokasi ke Tanjung Banon, 3 km dari kampung asal.
Hingga 8 Juli 2025, 117 kepala keluarga (KK) atau 409 jiwa telah direlokasi, dengan 101 rumah tipe 45 (senilai Rp120 juta) selesai dibangun, 68 di antaranya telah ber-Sertifikat Hak Milik (SHM). BP Batam menargetkan 961 unit rumah selesai pada 2025, dilengkapi fasilitas seperti pelabuhan nelayan, sekolah, dan puskesmas, meskipun saat ini hanya tersedia satu SD (kelas 1-3) dan polindes.Kompensasi dan Tantangan
Pemerintah menjanjikan kompensasi berupa rumah, lahan 500 m² dengan SHM, uang tunggu Rp1,2 juta per jiwa, dan sewa rumah Rp1,2 juta per keluarga selama transisi. Namun, 796 dari 961 KK menolak relokasi, khawatir kehilangan warisan budaya dan mata pencaharian. Penghasilan warga turun 70% akibat protes, dengan akses ke KUR dan subsidi pertanian terhenti. Ombudsman RI (Januari 2024) menemukan maladministrasi, termasuk ketidakjelasan status lahan BP Batam dan pendekatan keamanan yang menimbulkan ketakutan.Kritik dan Dukungan
Penggunaan aparat keamanan dikritik sebagai intimidasi, bertentangan dengan rekomendasi Komnas HAM untuk pendekatan non-keamanan. Sebuah unggahan di X pada 29 April 2025 mengklaim Rempang Eco-City tidak lagi masuk PSN berdasarkan Perpres No. 12 Tahun 2025, tetapi klaim ini belum terverifikasi. Di sisi lain, tokoh masyarakat seperti Samsudin Bujur mendukung relokasi dengan harapan kesejahteraan dan kepastian hukum tanah.Pernyataan Resmi
Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, menegaskan bahwa penertiban dilakukan setelah pendekatan persuasif gagal, dengan surat peringatan diterbitkan sejak Februari 2024 hingga Maret 2025. “Kami berkomitmen menjaga pendekatan humanis dan memastikan hak warga terpenuhi untuk mendukung investasi dan pembangunan,” ujarnya. Kementerian Transmigrasi telah mengalokasikan Rp70 miliar untuk pembangunan rumah, meskipun pemangkasan anggaran 2025 mengancam kelanjutan proyek.Tuntutan Warga dan Langkah ke Depan
Warga menuntut transparansi, penghentian penggusuran paksa, dan penyelesaian sengketa lahan secara adil. BP Batam berjanji melanjutkan dialog dan mempercepat pembangunan fasilitas umum. Konflik ini mencerminkan tantangan besar dalam menyeimbangkan investasi triliunan dengan hak warga adat.