Jakarta, intuisi.net – Pemerintah Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, mengumumkan kebijakan baru perpajakan e-commerce yang akan berlaku mulai Juli 2025. Dalam kebijakan ini, platform marketplace seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi pedagang di platform mereka. Langkah ini bertujuan untuk menciptakan kesetaraan perpajakan antara pelaku usaha daring (online) dan luring (offline), sekaligus mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor ekonomi digital yang terus berkembang pesat.Kebijakan ini menetapkan tarif PPh Final sebesar 0,5% dari pendapatan bagi pedagang dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar. Pedagang dengan omzet di bawah Rp500 juta tetap dibebaskan dari kewajiban pajak ini, sesuai dengan upaya pemerintah untuk mendukung pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). “Kebijakan ini bukan pajak baru, melainkan perubahan mekanisme pemungutan yang lebih efisien melalui platform, sehingga mengurangi beban administratif bagi pelaku usaha,” ujar Direktur Jenderal Pajak dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (6/7/2025).
Latar Belakang dan Tujuan Kebijakan
Kebijakan ini merupakan respons terhadap pertumbuhan signifikan sektor e-commerce di Indonesia. Berdasarkan data Bank Indonesia, nilai transaksi e-commerce melonjak dari Rp205,5 triliun pada 2019 menjadi Rp487 triliun pada 2024, dengan proyeksi pertumbuhan yang terus meningkat pada 2025. Dengan potensi penerimaan pajak diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun berdasarkan data transaksi 2024, kebijakan ini diharapkan dapat mendukung target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, yang hingga Mei 2025 baru mencapai Rp683,3 triliun atau 31,2% dari target Rp2.189,3 triliun.Selain meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini bertujuan untuk:
- Penyetaraan Perlakuan Pajak: Memastikan pelaku usaha daring dan luring memiliki kewajiban pajak yang setara, sehingga menciptakan persaingan usaha yang adil.
- Penyederhanaan Administrasi: Dengan platform sebagai pemungut pajak, pedagang tidak perlu lagi menyetor PPh Final secara manual, meningkatkan efisiensi dan kepatuhan pajak.
- Perluasan Basis Pajak: Menjangkau lebih banyak pelaku usaha digital untuk memperkuat basis pajak nasional.
Tantangan dan Pembelajaran dari Masa Lalu
Pemerintah pernah mencoba kebijakan serupa melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018, yang kemudian dibatalkan pada 2019 akibat kritik dari pelaku UMKM dan asosiasi e-commerce. Beban administrasi yang berat, kurangnya sosialisasi, dan kekhawatiran atas hambatan pertumbuhan ekonomi digital menjadi alasan utama pembatalan tersebut. Belajar dari pengalaman ini, DJP berkomitmen untuk melaksanakan sosialisasi intensif dan berkolaborasi dengan platform e-commerce guna memastikan implementasi yang lebih mulus.“Kami akan bekerja sama dengan platform dan asosiasi UMKM untuk menyediakan panduan yang jelas dan pelatihan perpajakan. Kami juga akan memanfaatkan teknologi untuk mempermudah proses pemungutan dan pelaporan pajak,” tambah Direktur Jenderal Pajak.
Dampak dan Harapan ke Depan
Kebijakan ini diharapkan tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memperkuat ekosistem ekonomi digital yang inklusif. Dana pajak dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur digital, seperti perluasan akses internet di daerah terpencil, yang akan mendorong lebih banyak UMKM masuk ke ranah e-commerce. Namun, tantangan seperti potensi kenaikan harga produk, kompleksitas implementasi, dan risiko menurunnya daya saing pelaku usaha domestik tetap perlu diantisipasi.
Pemerintah juga akan mengevaluasi kebijakan ini secara berkala untuk memastikan dampaknya sejalan dengan tujuan pembangunan ekonomi. “Kami ingin kebijakan ini menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi digital yang berkelanjutan, bukan beban bagi pelaku usaha,” tutup Direktur Jenderal Pajak.